OPINI: Belajar Tawadhu’ dan Takzim dari Presiden Jokowi
Presiden Joko Widodo memang bukan tokoh agama ataupun ulama, tetapi akhlaknya sebagai seorang umara sangat mengesankan. Akhlak yang dimaksud adalah cara bagaimana Presiden Jokowi memayungi diri sendiri karena hujan dan bukannya dipayungi oleh ajudan atau bawahannya pada acara doa bersama di Silang Monas Jakarta pada Desember tahun lalu atau yang lebih dikenal dengan doa bersama aksi 212.
Cara itu merupakan contoh konkret bagaimana sikap rendah hati atau tawadhu’ seorang pemimpin yang diimplementasikan.
Tidak hanya itu, ketika Presiden Jokowi turun dari pesawat kepresidenan dalam kunjungannya ke Australia pada Pebruari lalu (25/2) di mana ia juga tidak mau dipayungi ajudannya. Ia malahan memayungi sang istri Ibu Iriana sambil menggandeng tangan Ibu Negara itu. Ini juga merupakan cerminan sikap rendah hati Presiden Jokowi.
Sikap-sikap seperti itu sekaligus merupakan contoh bagaimana menjadi pria sejati, yakni melindungi sang istri meski hanya dari hujan. Hal ini sejalan dengan kandungan Surat An-Nisa’ ayat 34,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
Artinya, “Laki-laki (suami) itu pelindung perempuan (istri).”
Hal yang tak kalah penting adalah pada bulan Maret lalu (1/3). Kita menyaksikan bagaimana Presiden Jokowi di Istana Bogor memberikan takzimnya kepada Raja Salman bin Abdul Aziz dari Kerajaan Saudi Arabia.
Meski seorang pemimpin negara, Presiden Jokowi masih bisa mencari celah bagaimana menghormati sang tamu yang lebih sepuh dan alim dengan cara memayungi sang raja dengan tangan kiri memegang payung sementara tangan kanan menggandeng atau memegang lengan Sang Raja.
Begitulah sebagaimana dapat disimpulkan dari kitab Ta’limul Muta’allim bahwa dalam hubungan antarmanusia seseorang harus mengerti kapan bertawadhu’ dan kapan bertakzim. Sikap mengambil posisi lebih rendah dari posisi sebenarnya atau menahan diri untuk tidak merasa lebih tinggi daripada orang lain merupakan tawadhu’. Sedangkan sikap mengakui bahwa orang lain lebih tinggi yang diwujudkan dalam sikap menghormati atau memuliakan merupakan takzim.
Muhammad Ishom
*) Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Cara itu merupakan contoh konkret bagaimana sikap rendah hati atau tawadhu’ seorang pemimpin yang diimplementasikan.
Tidak hanya itu, ketika Presiden Jokowi turun dari pesawat kepresidenan dalam kunjungannya ke Australia pada Pebruari lalu (25/2) di mana ia juga tidak mau dipayungi ajudannya. Ia malahan memayungi sang istri Ibu Iriana sambil menggandeng tangan Ibu Negara itu. Ini juga merupakan cerminan sikap rendah hati Presiden Jokowi.
Sikap-sikap seperti itu sekaligus merupakan contoh bagaimana menjadi pria sejati, yakni melindungi sang istri meski hanya dari hujan. Hal ini sejalan dengan kandungan Surat An-Nisa’ ayat 34,
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ
Artinya, “Laki-laki (suami) itu pelindung perempuan (istri).”
Hal yang tak kalah penting adalah pada bulan Maret lalu (1/3). Kita menyaksikan bagaimana Presiden Jokowi di Istana Bogor memberikan takzimnya kepada Raja Salman bin Abdul Aziz dari Kerajaan Saudi Arabia.
Meski seorang pemimpin negara, Presiden Jokowi masih bisa mencari celah bagaimana menghormati sang tamu yang lebih sepuh dan alim dengan cara memayungi sang raja dengan tangan kiri memegang payung sementara tangan kanan menggandeng atau memegang lengan Sang Raja.
Begitulah sebagaimana dapat disimpulkan dari kitab Ta’limul Muta’allim bahwa dalam hubungan antarmanusia seseorang harus mengerti kapan bertawadhu’ dan kapan bertakzim. Sikap mengambil posisi lebih rendah dari posisi sebenarnya atau menahan diri untuk tidak merasa lebih tinggi daripada orang lain merupakan tawadhu’. Sedangkan sikap mengakui bahwa orang lain lebih tinggi yang diwujudkan dalam sikap menghormati atau memuliakan merupakan takzim.
Muhammad Ishom
*) Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) Surakarta.
Sumber: nu.or.id
Post a Comment