Sketsa Kegelisahan Pekerja Media - Birukuning News

Sketsa Kegelisahan Pekerja Media

OPINI - Masih pada rangkaian peringatan yang sama, kawan-kawan kami dari Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Makassar, sehari sebelumnya, menggelar diskusi ketenagakerjaan yang mengangkat tema tentang refleksi hari buruh bagi pekerja media.

Dalam dialog ini para pekerja media mendorong terbentuknya Peraturan Daerah (Perda) tentang perlindungan jurnalis, rencana kegiatan ini pun kemudian disebar melalui jejaring media sosial.

Komentar beragam bermunculan di postingan media sosial itu, mulai dari yang pedas, nyeleneh, hingga pesimistis yang berlebihan, salah satu komentar yang menarik buat saya, berasal dari Fajriani Langgeng, yang merupakan aktivis Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Makasar.

Dalam komentarnya ia berpesan ”Harusnya jurnalis yang mendorong bersama menuntut kesejahteraannya, bukan menjual diri idealisme demi perut. Jangan memilih profesi jurnalis, jika tidak mampu mengemban amanah yang hakiki, lebih baik tinggalkan dari pada menggrogoti profesi yang mulia ini”.

Kalimat singkat, pedas, dan kritis ini seakan menjadi tamparan bagi kami para pekerja media. Bagimana tidak, tak dipungkiri ada saja sejumlah orang yang mengaku jurnalis, akan tetapi memanfaatkan profesi mulai ini sebagai ladang untuk mencari keuntungan pribadi.

Dengan sebuah alasan klasik, yakni wajar jika ada jurnalis yang hijrah ke tempat lain demi menghidupi keluarganya, atau ada yang berfungsi ganda. Menurutnya idealisme sudah rapuh karena masalah tidak adanya kesejahteraan.

Melihat perbincangan seru di media sosial itu tadi, pikiran saya pun berkelabat untuk mencari referensi sebagai bahan tulisan, mata saya pun kemudian tertuju pada tulisan yang pernah saya buat pada tanggal 2 Januari tahun 2009 silam yang saya beri judul, kontributor media vs tukang cukur, maaf jika dalam tulisan ini kembali saya ambil beberapa penggalan yang saya anggap masih relevan untuk dijadikan perenungan bersama pada Hari Kebebasan Pers se-dunia tahun ini.

Semasa manusia masih ditumbuhi rambut, yang namanya tukang cukur tidak pernah bangkrut, betul? Salah seorang tukang cukur langganan saya, sebut saja namanya Parjo ini nampak hanya tersenyum mendengar pertanyaan saya tadi. Wajah tukang cukur asal Madura ini nampak tidak ada beban ketika mencukur saya, karena itulah saya senang memberinya pertanyaan seputar profesianya.

Yang menggelitik dihati saya sejak dulu adalah, mana lebih besar pendapatannya, kontributor media atau tukang cukur? Pendapatan para tukang cukur biasanya menggunakan istilah deret hitung, sedangkan kontributor media deret apa ya? Anda yang bergelut sebagai kontributor media yang tau jawabannya.
Baik kita mencoba membandingkannya. Ketika anda sebagai kontributor media mengetahui pendapatan dari tukang cukur, apa reaksi anda? Apa kita sebagai kontributor media juga perlu nyambi sebagai tukang cukur? Rasanya nyambi jadi tukang cukur, selama saya menggeluti profesi ini belum pernah saya dapatkan ada kontributor media yang nyambi jadi tukang cukur, kalau memang ada tolong disampaikan ya!!!.

Sekrisis-krisisnya perekonomian tukang cukur, ia tidak akan pernah bangkrut, ini terutama tukang cukur yang sudah memiliki banyak pengalaman dan yang sudah punya nama. Untuk punya nama di hati para pelanggan setianya rumusnya adalah kualitas dan keramahan.

Tapi saya yakin ketika ia baru merintis, ceritanya sama dengan kontributor media jika diperintahkan untuk laporan langsung (live report), yang adalah suara keluh, lidah gemetar, dan keluar keringat dingin. Maka tukang cukur pun juga punya resiko yang sama ketika ia baru belajar, dia bisa saja kena marah dari pelanggannya bila menggunting rambutnya dengan metode yang salah. Sehingga bisa berakhir pada kebotakan pada kepala pelanggan.

Ketika baru belajar satu kepala biasanya menghabiskan waktu satu jam, saking lamanya yang dicukur ini pun kadang gelisah.

Sedangkan kontributor media saat ini berusaha ramah pada sumber beritanya, seperti halnya sang tukang cukur tadi, akan tetapi mungkin sebagian dari kita kontributor media sangat sulit menyamai pendapatan dari tukang cukur, karena beberapa indikator, misalnya imbas dari krisis global, sehingga perusahaan media sulit memperoleh iklan.

Setelah saya cermati, pelanggan dari Mas Parjo ini mulai dari kalangan pelajar, TNI/Polri, pegawai kantoran, dan lain sebagainya. Namun tak sedkit balita juga banyak yang ia cukur. Mas Parjo yang sudah 4 tahun menggeluti profesi sebagai tukang cukur di bilangan Jalan Bau Massepe, Parepare ini mengaku, satu hari kalau lagi sepih, pelanggan rata-rata hanya 20 orang, namun jika lagi ramai biasa hingga 25 orang pelanggan bahkan kadang lebih, untuk perkepala ia memasang tarif 15 ribu rupiah.

Secara spontan sambil dicukur oleh Mas Parjo, saya berhitung hebat, saya pun berdecak kagum dalam hari. Silahkan dikali sendiri saja Rp.15.000 jika dikali dengan jumlah yang sepih saja yaitu 20ribu perorang, itu sama dengan Rp.300.000 perhari, terus Rp.300.000 dikalikan 30 hari sama dengan Rp.9.000.000,- perbulan. Sewa tempat pertahun 1 juta rupiah, menurut fikiran saya masih logis Mas Parjo masih mampu menabung 3 juta rupiah perbulan setelah dipotong biaya hidup di Kota Parepare, dengan satu istri dan dua anak yang masih balita.

Menurut analisa saya jumlah pelanggan tidak berkurang karena tarifnya masih tergolong relatif murah plus Mas Parjo yang murah senyum dan kerap memberikan srvice dengan pijatan gratis di kepala usai dicukur. Tukang cukur alatanya sangat sederhana gunting, pemotong rambut listrik, kaca cermin, tempat duduk, dan menurut Mas Parjo saat ini dirinya belum melakukan peremajaan pada peralatannya dalam tiga tahun terkhir ini, menurutnya berprofesi sebagai tukang cukur memang modal utamanya adalah skill dan tenaga setiap harinya. Paling tidak dia hanya membeli silet untuk merapihkan atau mencukur jenggot beserta kumis pelanggannya.

Nah dari cerita ini, sebenarnya saya merujuk pada tulisan saya yang sebelumnya, bahwa tidak ada institusi media yang bisa membuat kaya kontributornya, yanga ada adalah kebanyakan malah menilai jika kontributor media itu dikayakan oleh kreatifitasnya.

Lihat saja ada kontributor yang sudah sangat piawai dalam profesi ini berpenghasilan tinggi, lihat saja ada kontributor media yang sukses merintis usaha sebagai developer perumahan dengan memanfaatkan jaringan, atau nyambi sebagai dosen di perguruan tinggi terkemuka, serta sukses merintis usaha Production House atau rumah produksi.

Siapa yang membuat kontributor media itu berpenghasilan tinggi? Tentu bukan institusi tempat ia bekerja, tapi efek yang timbul dari profesinya sebagai kontributor media (Jurnalis). Bukan institusinya yang bayar dengan gaji fisik yang tinggi. Nah jasa institusi media tentu tidak boleh kita kesampingkan, institusi perusahaan media memberikan kita kesempatan untuk kita bisa dekat dengan berbagai kalangan mulai dari kaum tertindas hingga pejabat teras.

Sehingga pondasi dasar itulah yang semestinya kita kelola sebagai seorang kontributor media dengan cara halal tentunya. Jadi semua ini tergantung kita sebagai kontributor medianya. Tapi memang idealnya institusi perusahaan media seharusnya memberi gaji yang layak serta fasilitas penunjang seperti asuransi dan kesempatan yang sama dengan karyawan tetap, namun pertanyaannya kemudian, apakah banyak perusahaan media yang seperti ini???.

Sering kali saya berkelakar kepada sahabat-sahabat se-profesi saya sebagai seorang jurnalis, sebenarnya kita ini dibayar dengan gaji yang tingginya tidak terhingga oleh institusi kita, karena profesi sebagai jurnalis bisa memberi efek positif atau imbas positif jika kita mengelolanya dengan tepat, atau dengan kata lain jadilah pekerja cerdas jangan hanya mau selalu menjadi pekerja keras.

Tukang cukur juga kalau pendapatannya umpama 9 juta rupiah perbulan, kalau tidak dikelola dengan bagus atau dengan kata lain tidak melakukan pengembangan, uangnya sama saja. Pertanyaannya adalah, apakah masih ada institusi perusahaan media memberi honorarium yang pantas atau layak? Nah silahkan cari saja jawabannya!!!

Abdillah.Ms (Pemimpin Redaksi PIJARNEWS.COM)

Tidak ada komentar