ESSAY - Penghancuran Revolusi dan Perempuan - Birukuning News

ESSAY - Penghancuran Revolusi dan Perempuan


ESSAY, BIRUKUNING NEWS - Penghancuran revolusi adalah Pemahaman revolusi yang tidak sesuai dengan teori revolusioner yakni perubahan cepat dalam lingkungan sosial dan budaya, yang merupakan nilai mendasar dalam dasar kehidupan masyarakat. Apa yang direncanakan dan dilakukan tanpa kekerasan atau dengan bantuan kekerasan.
Tidak salah kiranya, kita perlu menilik sedikit petikan quote dari para ahli tersebut Sebuah revolusi adalah perubahan sosiokultural yang terjadi dengan cepat dan mencakup hal-hal penting dari fondasi atau kehidupan komunitas. Dalam sebuah revolusi, perubahan dapat direncanakan atau tidak direncanakan sebelumnya dan dapat dilakukan tanpa kekerasan atau dengan bantuan kekerasan. Ukuran perubahan kecepatan relatif sebenarnya akibat revolusi juga bisa memakan waktu lama.

Harold Rosenberg: “Revolusi adalah tradisi baru yang menyangkut urbanisasi atau tingkat dan tingkat erosi ruang publik di properti pedesaan”.

Gillin-Gillin: “Interpretasi perubahan sosial sebagai gaya hidup yang diadopsi, baik karena perubahan dalam geografi, bahan budaya, komposisi populasi, ideologi, dan karena penyebaran dan penemuan baru di masyarakat”.

Selo Soemardjan: “ Setiap perubahan dalam lembaga sosial di masyarakat yang mempengaruhi sistem sosial termasuk nilai-nilai, sikap, dan perilaku di antara kelompok elf di masyarakat”.
Ogburn William “Lingkup perubahan sosial mencakup unsur-unsur budaya, baik berwujud maupun tidak berwujud (intangible), untuk menekankan pengaruh besar unsur-unsur budaya material pada unsur tak berwujud ”.

Kingsley Davis “ Interpretasi perubahan sosial sebagai perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi masyarakat. Misalnya, awal dari organisasi kerja dalam masyarakat kapitalis”.
Koentjaraningrat “Sebuah revolusi adalah upaya untuk hidup sesuai dengan usia dan konstelasi dunia modern.
Soerjono Soekanto “Revolusi adalah bentuk perubahan sosial. Perencanaan biasanya diarahkan pada perubahan sosial (directional change) dan atas dasar (marginalisasi sosial)”.
Alex Tio “Revolution adalah bentuk perubahan sosial, seperti transformasi masyarakat pertanian menjadi masyarakat industry“.

Dapat kita artikan secara jelas, Revolusi adalah senjata atau hal yang sangat di nomor satukan untuk mengubah dunia. Mengubah dunia dalam hal apa? Tentu saja banyak. Anggaplah dunia kita ini sudah tidak jelas, kehancuran dimana-mana, peperangan tak terelakkan dan kedamaian sangat tidak diacuhkan. Akibat keluarnya pardigma yang esensial dari kata revolusi itu sendiri.

Banyak kalangan beranggapan, penghancuran revolusi itu tidak asing lagi dan perlu sedini mungkin untuk tanggap dalam mengawal kekusutan tersebut. Apalagi bagi pemula. pemula yang bagaimana kita maksud. Toh nantinya bakal tahu juga.

Pemikiran inilah yang membuat penuh tanya dalam masyarakat. Hal ini pernah dikatakan Emha Ainun Najib “Kesalahan yang membuatmu sedih itu lebih baik daripada kebaikan yang membuatmu sombong”. pepatah Babilonia “jika memang bernasib mujur, taka ada ramalan yang bisa sebanyak apa keberuntungan. Lemparkan dia kesungai eufrat bisa jadi dia akan menyembul kepermukaan dengan segenggam mutiara disungai”. Karena itu sangat disayangkan bilamana hal demikian mengakar kejejaring akar rumput yang lebih mengarah pada prinsipil personalitas, pada akhirnya hak individu diprioritaskan daripada hak publik.

Kita tak bisa memandang sebelah mata Pemikiran-pemikiran seperti ini sebab, hanya akan menurunkan kualitas kader. Apa salahnya mengenyam polarisasi dalam mengawali pembentukan karakter? Baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan, apatah lagi perempuan diera saat ini  sangat mumpuni dalam mengelola tatanan social. Apa salahnya seorang perempuan mengejar gelar/cita-cita yang didambakan? Tidak ada yang salah! Bung Karno menggambarkan peranan wanita secara luas dalam masa perjuangan kemerdekaan Indonesia.

“Keyakinan Bung Karno bahwa peranan wanita sangatlah dibutuhkan untuk bersatu padu dengan kaum pria antara pekerjaan rumah tangga dan pekerjaan di masyarakat, dan peranannya dalam satu gerakan revolusi. Bung Karno mengatakan bahwa revolusi akan gagal tanpa keterlibatan kaum wanita revolusioner,”.
Banyak contoh yang dapat kita lihat dari perempuan-perempuan di Indonesia sebagai acuan pembentukan paradigma Pemula. Sebut saja; Colliq Pujié atau Retna Kencana Colli’ Pujié Arung Pancana Toa Matinroé ri Tucaé, adalah seorang perempuan bangsawan Bugis yang hidup pada abad ke-19. Colli’ Pujié Arung Pancana adalah Datu’ (Ratu) Lamuru IX. Beliau bukan hanya bangsawan, tetapi juga pengarang dan penulis, sastrawan, budayawan, pemikir ulung, penyalin naskah Lontara Bugis kuno, penyalin naskah dan jurutulis istana kerajaan Tanete (di Kabupaten Barru sekarang).

Waniratu Arung Data Raja Bone-XXV (1823-1835), adalah salah satu dari beberapa perempuan yang pernah memimpin kerajaan di tanah Bugis. We Maniratu Arung Data terpilih oleh Dewan Ade’ Pitu Kerajaan pada tahun 1823 menggantikan saudaranya yaitu To Appatunru Matinroe’ ri Ajabbenteng Raja Bone-XXIV (1812-1823). Pada masa pemerintahannya, We Maniratu Arung Data yang merupakan saudara dari Arung Palakka ini dikenal sebagai raja yang anti penjajahan VOC.

Opu Daeng Risadju adalah pejuang wanita asal Sulawesi Selatan yang menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Nama Opu Daeng Risaju ketika kecil adalah Famajjah. Ia dilahirkan di Palopo pada tahun 1880, dari hasil perkawinan antara Opu Daeng Mawellu dengan Muhammad Abdullah to Barengseng. Nama Opu Daeng Risaju merupakan symbol kebangsawanan kerajaan Luwu.

Emmy Saelan dilahirkan di Makassar pada 15 oktober 1924, sebagai putri sulung dari tujuh bersaudara. Salah seorang adiknya, Maulwi Saelan, adalah tokoh pejuang dan pernah menjadi pengawal setia Bung Karno. Emmy Saelan adalah salah satu perempuan hebat Bugis-Makassar dan pejuang wanita Indonesia. Meskipun ia anggota palang merah, tetapi ia selalu berpakaian ala laki-laki dan memilih bertempur di garis depan.

Andi Siti Nurhani Sapada lahir di Parepare, Sulawesi Selatan 25 Juni 1929. Dia termasuk wanita keturunan bangsawan. Ayahnya, Andi Makasau Parenregi Lawalo, adalah bangsawan Bugis bergelar Datu Suppa Toa. Ibunya, Rachmatiah Daeng Baji adalah bangsawan Makassar, putri dari Karaeng Sonda, Raja Bontonompo. Tahun 1962, salah satu perempuan hebat Bugis – Makassar ini mendirikan Institut Kesenian Sulawesi (IKS) untuk menawarkan pendidikan seni kepada putra-putri Indonesia agar lebih mengenal seni tari empat kelompok etnis di Sulawesi Selatan (Makassar, Bugis, Toraja, Mandar) serta mengatur dan menggelar beragam pertunjukan, khususnya tari dan musik daerah.

Nyi Ageng Serang, Pemimpin gerilyawan Jawa yang memimpin penyerangan terhadap kolonial Belanda atas beberapa pendudukan. Andi Depu, Pejuang dan aktivis yang berhasil mempertahankan pengibaran bendera nasional di Mandar pada 1944, padahal dilarang keras. Dewi Sartika, Pengajar, mendirikan sekolah untuk perempuan yang pertama di negara ini. Cut Nyak Dhien, Pemimpin gerilyawan Aceh yang melakukan penyerangan terhadap pasukan kolonial belanda. Fatmawati, Pembuat bendera nasional pertama, aktivis sosial, istri Sukarno. Kartini, Tokoh hak asasi perempuan Jawa. Malahayati, Pejuang dan bangsawan, melawan pasukan Cornelis de Houtman. Maria Walanda Maramis, Pendukung hak asasi perempuan dan pengajar. Martha Christina Tiahahu, Gerilyawan dari Maluku yang wafat saat ditahan Belanda. Cut Nyak Meutia, Pemimpin gerilyawan Aceh yang melakukan perlawanan terhadap pasukan kolonial Belanda. Opu Daeng Risaju, Politisi wanita awal, melakukan perlawanan terhadap Belanda saat Revolusi Nasional. 

Rasuna Said, Pendukung hak asasi wanita dan nasionalis. Siti Hartinah, Istri presiden Suharto, aktif dalam karya sosial, mendirikan Taman Mini Indonesia Indah. Salidah, Pendiri Aisyiyah, tokoh Muhammadiyah, istri Ahmad Dahlan.
Ini pembuktian dari mereka, bahwa perempuan tidak dapat dielakkan apalagi dipandang sebela mata., apa hubungan perempuan dengan penghancuran revolusi? Disinilah awal pertarungan menengarai  kehidupan perempuan dalam percaturan dunia. Bagi kaum Marxis, akar masalah dari segala bentuk penindasan terdiri dalam pembagian masyarakat ke dalam kelas. Tapi penindasan dapat mengambil banyak bentuk. Di samping penindasan kelas, kita menemukan penindasan satu bangsa di atas yang lain, penindasan rasial, dan penindasan terhadap perempuan.

Sejarah mencatat bahwa dalam perkembangan industrialisasi abad 17 dan 18 secara radikal telah mengubah tatanan lama di dalam hubungan keluarga. sebelum munculnya kepemilikan atas alat produksi dan pembagian masyarakat kelas, perempuan dan laki-laki terlibat dalam proses produksi secara setara, dan punya hak yang sama. Namun, akibat kepemilikan pribadi-lah perempuan terlempar pada jurang kerja rumah tangga dan berkutat di dalamnya.

Penghancuran revolusi dibalik tuntutan yang yang selama ini dikoarkan: segala bentuk diskriminasi di masyarakat dan tempat kerja; pembayaran yang sama atas pekerjaan yang sama nilainya; hak perceraian; perlindungan perempuan atas kekerasan laki-laki; pelecehan seksual, perkosaan dan kekerasan dalam rumah tangga; perlindungan anak yang berkualitas; dan sebagainya. Semua hal tadi benar-benar dibutuhkan. dibalik dari itu banyak pangkat melekat dari harapan tersebut dari bagian aktivis tersebut.

Tetapi, perjuangan untuk pembebasan perempuan tidak pernah dapat sepenuhnya terwujud atas dasar suatu masyarakat, di mana yang mayoritas justru didominasi, dikendalikan dan dimanfaatkan oleh para bankir dan kapitalis. Untuk mengakhiri penindasan perempuan, maka perlu mengakhiri penindasan kelas itu sendiri. Perjuangan untuk pembebasan perempuan, karena itu organik terkait dengan perjuangan untuk sosialisme. (Wallahu’ A’lam).

Penulis: Nur Mubarak
Parepare 06 Juli 2019


Daftar Referensi dan Bacaan

Ir. Soekarno. 2015. Mencapai Indonesia Merdeka. Bandung; Sega Arsy.

Sukarno, 1963. Sarina Kewajiban Wanita Perjuangan Indonesia. Panitya; Buku-Buku Karangan Presiden Sukarno.

Ir. Soekarno, 1965. Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965. Pelengkap Nawaksara (Paperback) Published: Serambi Ilmu Semesta.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian (Kajian Budaya dan Ilmu-Ilmu Sosial Humaniora pada Umumnya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

KH. Husein Muhammad. 2001. Fiqh Perempuan Refleksi Kiai Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta; LKiS
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra (Dari Strukturalisme hingga Postrukturalisme Perspektif Wacana Naratif). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rosidi, Ajip. 2000. Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: Binacipta.

Saputra, Asep Deni. 2011. “Perempuan Subaltern dalam Karya Sastra Indonesia
Poskolonial”,dalam Jurnal Literasi, vol. 6,no.1, 2011. 
Sariban dan Lib Marzuqi. 2015. 

"Menemukan Keindonesiaan dalam Novel-novel Pramoedya Ananta Toer", dalam Jurnal Atavisme, vol. 18, no. 2, 2015. 

Stuers de, Cora Vreede. 2008. Sejarah Perempuan Indonesia (Gerakan dan Pencapaian). Penerjemah: Rosa, dkk. Depok: Komunitas Bambu."Daftar Nama Pahlawan Nasional Republik Indonesia (2)" (dalam bahasa Indonesia).

Sekretariat Negara Indonesia. Diarsipkan dari versi asli tanggal 17 Februari 2013. (Diakses tanggal 06 Juli 2019).

Kurniawan, Eka. 2006. Pramoedya Ananta Toer dan Sastra Realisme Sosialis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Daftar pencarian Internet

https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_pahlawan_nasional_Indonesia_perempuan.(Diakses
tanggal 06 Julin 2019).

https://books.google.co.id/bookstokoh+pejuang+perempuan+diera+kemerdekaan&ots=CB8fvHd
pBz&sig=H15gZQ0LK-Ih1eMuHE3lC4VWzc&redir_esc=y#v=onepage&q&f=false.
tanggal 06 Julin 2019).


Tidak ada komentar