Opini: Menakar Kebijakan Impor Beras
OPINI - Nawa cita yang didengungkan Presiden Joko Widodo salah satunya adalah terkait dengan swasembada pangan, sehingga salah satu program yang dijalankan pemerintah agar produksi bahan sembako bisa meningkat dan tidak ketergantungan dengan negara lain (impor).
Namun pada realitanya sampai saat ini Indonesia masih mengimpor bahan-bahan sembako seperti kebijakan kementerian perdagangan untuk mengimpor beras akhir bulan ini. Teori perdagangan internasional (merkantilisme, keunggulan absolut dan keunggulan komparatif maupun Hecher Ohlin (HO)) suatu negara berkembang biasanya membutuhkan impor barang tertentu bahkan impor barang pokok (beras), namun perlu dievaluasi berkaitan dengan ketergantungan impor bahan sembako di Indonesia.
Faktor-fajto yang mempengaruhi impor beras adalah pendapatan perkapita, peningkatan produksi beras, peningkatan kurs dollar dan stabilitas harga yang selalu menjadi perhatian pemerintah saat ini, stabilitas harga beras dengan impor (ini memang efektif namun hanya jangka pendek) dan pemerintah tidak mempertimbangkan faktor kedua (peningkatan produksi beras), lebih anehnya setiap impor pasti mendekati musim panen raya bulan Februari–Maret. Apakah ini kesengajaan ataukah ini hanya kebetulan saja ?, pemerintah harus lebih menfokuskan pada dua sektor agar produksi beras di Indonesia bisa meningkat.
Pertama berkaitan dengan distribusi beras Indonesia, selama ini menjadi petani mengeluh adalah rendahnya nilai jual di petani namun tingginya harga jual hasil produksi petani. Sehingga dalam titik kejenuhan petani enggan lagi untuk memproduksi barang yang sama.
Kedua adalah tidak adanya jaminan dari pemerintah berkaitan dengan panen raya, walaupun rumus permintaan penawaran dan permintaan penawaran namun berbeda ketika bahan sembako menjadi sasaranya. Peran aktif pemerintah harus mampu menstabilkan harga agar petani tidak jenuh untuk memproduksi barang sama.
Beras merupakan komoditas strategis secara sosio budaya-ekonomi dan politik sehingga kebijakan beras tidak hanya dengan pendekatan kebijakan ekonomi saja. Impor memang menjadi salah satu alternatif untuk menstabilkan harga namun perlu kebijakan lebih strategis agar Indonesia tidak ketergantungan beras.
Jika produksi padi dipengaruhi oleh luas lahan, impor beras, harga pupuk urea, nilai tukar riil dan harga beras di pasar domestik. Maka luas lahan, harga pupuk urea, dan nilai tukar rill menjadi PR terbesar pemerintah saat ini.
Penulis: Ilhamudin, Ketua Bidang Pengembangan Ekonomi dan Pemberdayaan Kelompok Profesional PB PMII
Namun pada realitanya sampai saat ini Indonesia masih mengimpor bahan-bahan sembako seperti kebijakan kementerian perdagangan untuk mengimpor beras akhir bulan ini. Teori perdagangan internasional (merkantilisme, keunggulan absolut dan keunggulan komparatif maupun Hecher Ohlin (HO)) suatu negara berkembang biasanya membutuhkan impor barang tertentu bahkan impor barang pokok (beras), namun perlu dievaluasi berkaitan dengan ketergantungan impor bahan sembako di Indonesia.
Faktor-fajto yang mempengaruhi impor beras adalah pendapatan perkapita, peningkatan produksi beras, peningkatan kurs dollar dan stabilitas harga yang selalu menjadi perhatian pemerintah saat ini, stabilitas harga beras dengan impor (ini memang efektif namun hanya jangka pendek) dan pemerintah tidak mempertimbangkan faktor kedua (peningkatan produksi beras), lebih anehnya setiap impor pasti mendekati musim panen raya bulan Februari–Maret. Apakah ini kesengajaan ataukah ini hanya kebetulan saja ?, pemerintah harus lebih menfokuskan pada dua sektor agar produksi beras di Indonesia bisa meningkat.
Pertama berkaitan dengan distribusi beras Indonesia, selama ini menjadi petani mengeluh adalah rendahnya nilai jual di petani namun tingginya harga jual hasil produksi petani. Sehingga dalam titik kejenuhan petani enggan lagi untuk memproduksi barang yang sama.
Kedua adalah tidak adanya jaminan dari pemerintah berkaitan dengan panen raya, walaupun rumus permintaan penawaran dan permintaan penawaran namun berbeda ketika bahan sembako menjadi sasaranya. Peran aktif pemerintah harus mampu menstabilkan harga agar petani tidak jenuh untuk memproduksi barang sama.
Beras merupakan komoditas strategis secara sosio budaya-ekonomi dan politik sehingga kebijakan beras tidak hanya dengan pendekatan kebijakan ekonomi saja. Impor memang menjadi salah satu alternatif untuk menstabilkan harga namun perlu kebijakan lebih strategis agar Indonesia tidak ketergantungan beras.
Jika produksi padi dipengaruhi oleh luas lahan, impor beras, harga pupuk urea, nilai tukar riil dan harga beras di pasar domestik. Maka luas lahan, harga pupuk urea, dan nilai tukar rill menjadi PR terbesar pemerintah saat ini.
Penulis: Ilhamudin, Ketua Bidang Pengembangan Ekonomi dan Pemberdayaan Kelompok Profesional PB PMII
Mantap kang namun untuk editor lain kali lebih teliti lagi agar tulisan lebih proporsional. Mantap Salam pergerakan
BalasHapus