Ideologi Radikal dan Terorisme Menjamur di dalam Penjara
JAKARTA – Pemerintah bersama dengan DPR tengah mempercepat pembahasan revisi Undang-Undang No 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Mereka ingin memperkuat pertahanan negara dengan memberikan payung hukum melakukan pencegahan sebelum terjadi aksi teror. Tak boleh dilupakan, upaya mengikis ideologi dan doktrin yang dibawa oleh para terduga teroris.
Salah satu caranya dengan menutup ruang penularan ideologi para napi terorisme. Mantan anggota Al-Qaeda di Indonesia, Sofyan Tsuari mengatakan, seharusnya para tahanan terorisme dipisah dengan narapidana lainnya. Karena di dalam lapas mereka dapat membentuk dan mencari kader-kader baru untuk didoktrin masuk dalam pemahaman radikal.
“Di dalam tahanan kita ini sebenarnya membentuk pelatihan dan melakukan doktrin kepada para tahanan pidana lain untuk kita arahkan masuk ke pemahaman radikal kita, jadi orang yang tidak extreme jadi extreme, yang extreme tambah extreme,” katanya di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (3/6).
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya kesenjangan sosial. Dia mengungkapkan, timbulnya paham radikalisme akibat adanya ketidakpuasan sebagian umat terhadap kesenjangan sosial yang ada. Akhirnya mereka memilih melakukan perlawanan dengan bergabung dalam aksi terorisme.
“Radikalisme ini muncul karena ketidakadilan kepada umat Islam, konflik sosial serta kesenjangan sosial dan ketidakpuasan kepada kepemimpinan, itu yang sebenarnya memicu,” tegasnya.
Pandangan serupa juga disampaikan Peneliti Kajian Strategis Intelijen Universitas Indonesia, Ridlwan Habib. Dia menilai masih maraknya aksi terorisme di Indonesia karena napi teroris digabung dalam satu lapas dengan tahanan kasus lain.
“Ternyata dari penjara, ideologi ini masih ada,” katanya.
Dia mengungkapkan, terjadinya beberapa kasus aksi terorisme seperti pada peristiwa Bom Thamrin, Bom Samarinda, Bom di Cicendo, Bandung, Bom Kampung Melayu, salah satu penyebabnya adalah karena para tersangkanya pernah menjalin kontak dengan Aman Abdurrahman, pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang mendekam di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Ridlwan meminta Pansus revisi Undang-Undang Terorisme agar merumuskan aturan yang dapat mencegah penyebaran paham radikal di lapas.
“Apakah DPR di pasal-pasal yang sekarang bisa mematikan api ideologi ini?” ujarnya.
Anggota Panitia Khusus (Pansus) revisi Undang-Undang Terorisme, Bobby Adhityo Rizal mengakui, permasalahan teroris bukan hanya faktor keamanan. Terlebih belum adanya pembahasan terkait pembatasan ideologi dalam draf revisi yang dikirimkan pemerintah. Untuk itu Pansus revisi Undang-Undang Terorisme akan membahasnya.
“Ada draf yang disampaikan pemerintah pada bulan April 2016 lalu yang di dalamnya tidak ada poin yang mengatur suatu ideologi dilarang atau tidak, jadi kami ingin menyempurnakan itu, contohnya masalah Center of Ideology dapat diselesaikan,” jelasnya. Politisi Golkar ini mengungkapkan, jika pangkal permasalahan ancaman teroris adalah ideologi maka pemerintah harus bersikap. Dia mencontohkan, bilamana permasalahannya ideologi berati Kementerian Agama harus berperan, mencari tahu bagaimana keterlibatannya.
Bobby mengharapkan, aparat berwenang dalam penanggulangan terorisme memiliki otoritas dan wewenangnya. Namun, dia mengusulkan, perlu ada lembaga pengawasan terhadap penegakan hukum oleh aparat berwenang.
“Kita juga tidak mau aparat tidak boleh menangkap atau menindak seseorang yang diduga terkait tindakan terorisme, kita malah mau memperkuat aparat, cuma bagaimana akuntabilitasnya tinggi, nah untuk itu apakah gugus tugas ini harus diberi pengawasan dalam bentuk badan atau lembaga yang bisa dikontrol publik, itu yang belum diatur,” tutupnya. (*)
Sumber: Merdeka.com
Salah satu caranya dengan menutup ruang penularan ideologi para napi terorisme. Mantan anggota Al-Qaeda di Indonesia, Sofyan Tsuari mengatakan, seharusnya para tahanan terorisme dipisah dengan narapidana lainnya. Karena di dalam lapas mereka dapat membentuk dan mencari kader-kader baru untuk didoktrin masuk dalam pemahaman radikal.
“Di dalam tahanan kita ini sebenarnya membentuk pelatihan dan melakukan doktrin kepada para tahanan pidana lain untuk kita arahkan masuk ke pemahaman radikal kita, jadi orang yang tidak extreme jadi extreme, yang extreme tambah extreme,” katanya di kawasan Jakarta Pusat, Sabtu (3/6).
Kondisi ini semakin diperparah dengan adanya kesenjangan sosial. Dia mengungkapkan, timbulnya paham radikalisme akibat adanya ketidakpuasan sebagian umat terhadap kesenjangan sosial yang ada. Akhirnya mereka memilih melakukan perlawanan dengan bergabung dalam aksi terorisme.
“Radikalisme ini muncul karena ketidakadilan kepada umat Islam, konflik sosial serta kesenjangan sosial dan ketidakpuasan kepada kepemimpinan, itu yang sebenarnya memicu,” tegasnya.
Pandangan serupa juga disampaikan Peneliti Kajian Strategis Intelijen Universitas Indonesia, Ridlwan Habib. Dia menilai masih maraknya aksi terorisme di Indonesia karena napi teroris digabung dalam satu lapas dengan tahanan kasus lain.
“Ternyata dari penjara, ideologi ini masih ada,” katanya.
Dia mengungkapkan, terjadinya beberapa kasus aksi terorisme seperti pada peristiwa Bom Thamrin, Bom Samarinda, Bom di Cicendo, Bandung, Bom Kampung Melayu, salah satu penyebabnya adalah karena para tersangkanya pernah menjalin kontak dengan Aman Abdurrahman, pimpinan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang mendekam di Lapas Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Ridlwan meminta Pansus revisi Undang-Undang Terorisme agar merumuskan aturan yang dapat mencegah penyebaran paham radikal di lapas.
“Apakah DPR di pasal-pasal yang sekarang bisa mematikan api ideologi ini?” ujarnya.
Anggota Panitia Khusus (Pansus) revisi Undang-Undang Terorisme, Bobby Adhityo Rizal mengakui, permasalahan teroris bukan hanya faktor keamanan. Terlebih belum adanya pembahasan terkait pembatasan ideologi dalam draf revisi yang dikirimkan pemerintah. Untuk itu Pansus revisi Undang-Undang Terorisme akan membahasnya.
“Ada draf yang disampaikan pemerintah pada bulan April 2016 lalu yang di dalamnya tidak ada poin yang mengatur suatu ideologi dilarang atau tidak, jadi kami ingin menyempurnakan itu, contohnya masalah Center of Ideology dapat diselesaikan,” jelasnya. Politisi Golkar ini mengungkapkan, jika pangkal permasalahan ancaman teroris adalah ideologi maka pemerintah harus bersikap. Dia mencontohkan, bilamana permasalahannya ideologi berati Kementerian Agama harus berperan, mencari tahu bagaimana keterlibatannya.
Bobby mengharapkan, aparat berwenang dalam penanggulangan terorisme memiliki otoritas dan wewenangnya. Namun, dia mengusulkan, perlu ada lembaga pengawasan terhadap penegakan hukum oleh aparat berwenang.
“Kita juga tidak mau aparat tidak boleh menangkap atau menindak seseorang yang diduga terkait tindakan terorisme, kita malah mau memperkuat aparat, cuma bagaimana akuntabilitasnya tinggi, nah untuk itu apakah gugus tugas ini harus diberi pengawasan dalam bentuk badan atau lembaga yang bisa dikontrol publik, itu yang belum diatur,” tutupnya. (*)
Sumber: Merdeka.com
Post a Comment